Rabu, 27 Desember 2023

 

Mengenal dan Memahami Duck Syndrome


Penulis: Glory Sepsi Sinaga, S.Psi


 

“Diatas panggung mereka terlihat seperti orang paling bahagia

Siapa yang tahu dibelakang panggung?”

 

 

            Tampan, cantik, terkenal dan selalu ceria adalah tampilan yang selalu ditunjukkan oleh idol korea. Sebagai penggemar idol korea sejak kecil, saya selalu menyangka kehidupan mereka sangat sempurna. Punya kulit yang bagus, wajah yang indah, bisa menari, menyanyi, pakaian yang keren, dan bisa acting juga. Idol korea juga punya penggemar di berbagai belahan dunia, dan mengadakan tour konser dari negara satu ke negara yang lainnya. Tampak sangat wow kehidupannya. Tapi dibalik semua keindahan itu, para idol  ini harus mengorbankan banyak hal.

Beberapa media membongkar sisi gelap atau sisi sulitnya menjadi seorang idola korea (Lina, 2019). Mulai dari harus melewati masa trainee yang sangat lama,  para anggotanya ada yang hanya minum air putih untuk menurunkan berat badan, sangat dituntut untuk diet supaya badan tetap sempurna dan jangan lupa budaya operasi plastik. Ada juga 2-3 tahun sejak debut tidak diberi salary, kehidupan pribadi yang sangat dibatasi (misalnya dilarang berkencan), harus selalu menujukkan kepribadian yang positif, harus ceria, intinya kepribadian harus sama sempurna-nya dengan wajah mereka. Baru-baru ini juga terbongkar idol kpop wanita harus minum pil KB supaya tidak datang bulan. Karena datang bulan cukup menganggu aktivitas para idol wanita tersebut. Jadi tidak heran banyak idol mengalami gangguan mental, depresi sampai bunuh diri.

Jika melihat social media seseorang, tampaknya hidup mereka baik-baik saja, indah, seperti tidak ada masalah. Traveling, kuliner-an, stay cation, punya barang-barang branded, tapi siapa yang tahu kehidupan offline-nya seperti apa. Setiap orang selalu berusaha memperlihatkan bahwa kehidupannya sempurna dan bahagia. Jarang ada yang memperlihatkan bahwa hidup mereka sedang dilanda banyak masalah. Banyak kasus bunuh diri artis, musisi, yang menggemparkan pengemarnya. Karena penggemar merasa selama ini mereka terlihat fine-fine saja. Apakah soulmate LYS punya orang terdekat yang tampaknya kehidupannya selama ini sempurna dari tampilan luar mereka, tapi ternyata bagian dalam diri sangat berantakan? Atau mungkin itu adalah diri kita sendiri? Jangan sampai ternyata kita yang terkena duck syndrome ya.

Duck Syndrome, yaitu suatu keadaan dimana seseorang terlihat baik-baik saja,  padahal  sedang  berjuang  sekeras mungkin untuk menanggulangi berbagai masalah yang sedang dihadapi. Istilah ini diambil dari analogi seekor bebek di sungai  yang berenang anggun kesana kemari, padahal kakinya di bawah permukaan air bergerak terus-menerus menjaga keseimbangan badannya supaya tidak tenggelam. 

Duck syndrome (Sindrom bebek berenang) merujuk pada perilaku dimana seseorang dari luar (penampilannya) terlihat tenang, cool, kalem tetap sebenarnya sedang diliputi banyak kecemasan (Dewi, 2021). Duck Syndrome atau sindrom bebek pertama kali dikemukakan di Stanford University, Amerika Serikat, untuk menggambarkan persoalan para mahasiswanya (Standford University, Student Affair,2021).

           Banyak orang mengidentifikasikan diri mereka dengan gambaran ini karena mereka merasa harus menjaga ketenangan sambil berjuang untuk mengimbangi orang lain. Duck Syndrome, bukanlah penyakit mental atau diagnosis kesehatan mental yang formal (Stanford University Student Affair, 2021). Fenomena ini paling sering dialami oleh orang-orang dewasa, terutama dewasa awal (18-40 tahun) dan dewasa madya (41-60 tahun).

     Perkembangan psikososial pada dewasa awal menurut Erikson adalah intimasi (intimacy) versus isolasi (isolation) merupakan isu utama pada dewasa awal. Seorang dewasa awal tidak dapat membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain (intimacy), menurut Erikson, maka mereka akan terisolasi dan self absorb (terpaku pada  kegiatan dan pikirannya sendiri. Disisi lain, mereka juga butuh kesendirian (isolasi) sebagai upaya merefleksikan kehidupan yang mereka miliki. Ketika mereka berusaha menyelesaikan kehidupan yang mereka miliki. Dewasa awal berusaha menyelesaikan tuntutan saling berlawanan tersebut mereka mengembangkan pemahaman etis, yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan (Papalia dkk, 2009). Tujuan yang diinginkan oleh setiap individu yang berada dalam usia dewasa awal adalah membangun identitas yang matang dan memiliki hubungan yang dekat dan positif dengan orang lain. 

Pada tahap ini, ada yang baru saja masuk perguruan tinggi, menyesuaikan diri dari siswa SMA menjadi mahasiswa. Ada yang sudah seharusnya membangun karir, memilih pasangan, membina rumah tangga, dan dituntut mengenai kemandirian. Terjadi konflik-konflik relationship misalnya diselingkuhi, patah hati, teman yang semakin sedikit, dan konflik-konflik lainnya yang berhubungan dengan relasi dengan orang lain. Kesepian, ketakutan dan keterasingan  rentan dialami orang dewasa.

Dituntut harus serba bisa dan selalu tampak kuat karena sudah dewasa, membuat seseorang  selalu menampakkan dirinya bahwa ia baik-baik saja, dan tampak bahagia dari luar. Takut dibilang cengeng, rapuh, gak punya kehidupan, membuat orang muda jarang mengakui emosi  yang ia alami. Sulitnya menemukan teman yang bisa dipercaya, tidak mudah membangun  relationship dengan lawan jenis adalah factor yang lain. Memakai topeng setiap hari ke tempat kerja, di keluarga dan dimana saja. Merasa baik-baik saja tidak memiliki pasangan, disisi lain sebanarnya selalu merasa kesepian.

Usia 40-an yaitu dewasa madya biasanya adalah orang-orang memberi tekanan pada diri mereka sendiri untuk berhasil atau merasa bahwa mereka harus memenuhi ekspektasi yang tinggi. Hidup mereka harus sempurna, diam-diam bekerja keras untuk menjaga semuanya tetap terkendali. Berpolitik di tempat kerja supaya cepat naik jabatan tidak peduli teman makan teman. Tas harus branded, rumah harus mewah, anak harus sekolah di sekolah yang bonafit, jangan lupa kalau kekondangan harus memakai perhiasan terbuat dari emas berlian. Apapun itu, supaya orang lain memandang hidup mereka sangat perfect. Belum lagi tuntutan social media, tempat instant  membandingkan diri.

Hal inilah yang menyebabkan orang dewasa rentan terhadap duck syndrome. Meski merasakan banyak tekanan dan stres, sebagian penderita duck syndrome masih bisa produktif dan beraktivitas dengan baik. Namun, orang yang mengalami duck syndrome dalam jangka panjang berisiko untuk mengalami masalah kejiwaan tertentu, seperti gangguan cemas, depresi bahkan bunuh diri (Stanford University Student Affair, 2021).

Gejala lainnya adalah:

1.       Perfeksionis

2.      Timbul rasa insecure, suka membandingkan diri dengan orang lain

3.      Tidak mencintai proses yang terjadi dalam diri sendiri

4.      Gangguan tidur dan gangguan makan

5.      Kesulitan menenangkan pikiran

6.   Sampai perubahan pola makan dan minum alcohol berlebihan

  Gejala diatas bisa saja menyerupai gangguan mental lainnya, tapi yang perlu di highlight adalah memaksakan diri seakan tampak baik-baik saja, tidak terbuka kepada orang lain, karena takut menjadi bahan pikiran. Dan menganggap bahwa sedang diamati dan diuji oleh orang lain, sehingga harus menujukkan kehidupan yang bahagia. Jika kamu mengalaminya saat ini, kamu mungkin takut dengan apa yang akan dipikirkan orang lain jika mereka mengetahui bahwa hidup kamu tidak sempurna. Kamu mungkin merasa, bahwa tidak ada yang bisa memahami apa yang kamu alami.

        Kita semua mengalami masa-masa naik dan turun, dan penting bagi kita untuk mengakui hambatan-hambatan yang ada dan mencari dukungan daripada terus-terusan mengayuh ke atas permukaan. Seperti kepala bebek tenang yang meluncur melintasi air permukaan, tapi kakinya susah payah mengayuh dibawah permukaan air.

Lakukanlah sesuatu supaya tetap mendapatkan dukungan saat kamu berada di masa sulit kamu ya Soulmate LYS! Supaya hidup tidak berpura-pura.

Pertama, jangan biarkan kamu terpuruk sendirian, berpura-pura mampu menjalani sesuatu itu tidak mudah, apalagi dalam jangka waktu yang sangat lama. Jika sudah pakai topeng ditempat kerja, cari sumber daya/seseorang dimana kamu tidak perlu memakai topeng. Bisa teman kamu, bisa keluarga atau orang-orang terdekat. Bicaralah dengan mereka, apa yang sebenarnya benar-benar terjadi dalam hidup kamu. Kamu juga bisa melakukan jurnalling.

Kedua, carilah komunitas-komunitas sebagai wadah kesehatan mental kamu. Dengan tidak berpura-pura menjalani segala sesuatu, kita juga dapat membuat lebih banyak kemajuan dalam diri kita dan membantu orang lain.  Menyadari bahwa tidak apa-apa untuk merasakan tekanan ini dan bahwa aku, kamu, kita tidak sendirian. Kita dapat belajar untuk saling mendukung dengan menyuarakan perjuangan kita bersama-sama.

Ketiga, terbiasalah untuk  mencintai diri sendiri. Mengenali kemampuan, kekuatan, kelemahan, sehingga tidak memaksa diri untuk menjalani hidup diatas kapasitas kemampuan diri kita. Jangan membuat kecepatan orang lain menjadi kecepatan kamu.Waktu setiap orang berbeda-beda lho. Orang lain menikah, kamu jadi panik karna belum ada pasangan. Orang lain self recharge ke luar negeri, kamu juga ingin. Orang lain ganti handphone, orang lain beli tas branded  kamu juga ingin, sampai-sampai kamu mau terlibat pinjol (pinjaman online). Apalagi ikut-ikutan orang lain punya sugar daddy. Jangan yaa!

Terakhir, kalau sudah sampai ditahap kecemasan yang sangat menganggu, memiliki pemikiran self harm  atau sampai bunuh diri dan tidak bisa kamu kendalikan. Segera temui psikolog untuk konseling atau psikoterapi.

 

"Kalau merasa sedih, sedihlah, jangan berpura-pura tidak sedih. Kalau memang bahagia, bahagialah. Hidup terlalu singkat untuk dilewati dengan berpura-pura kuat."

 

 

"Hal tersulit ketika kamu berpura-pura kuat adalah orang-orang mulai berpikir bahwa kamu pasti akan baik-baik saja meski disakiti."

 

 Referensi:

Dewi, R. Z. (2021). Komunikasi Asertif Pada Mahasiswa Duck Syndrome Di Mojokerto. Jurnal komunikasi dan Sosial Humaniora, 2, 1-12.

Dokter, A. (2021). Aldo Dokter. Retrieved from Duck Syndrome, Gangguan Psikologis yang Banyak Dialami Orang Dewasa Muda: https://www.alodokter.com/duck-syndrome-gangguan-psikologis-yang-banyak-dialami-orang-dewasa-muda

Lina. (2019). IDM TIMES. Retrieved from 7 Sisi Gelap di Balik Gemerlap dan Popularitas Idola KPop: https://www.idntimes.com/hype/entertainment/lina-2/7-sisi-gelap-di-balik-gemerlap-dan-popularitas-idola-kpop-c1c2?page=all

Papalia, D. E., Old s, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development Perkembangan Manusia.     Jakarta: Salemba Humanika.

University, S. (2021). Stanford University Student Affair. Retrieved from In Focus: Don’t Be a Duck! How to Resist the Stanford Duck Syndrome: https://studentaffairs.stanford.edu/the-flourish/flourish-october-2022/focus-dont-be-duck-how-resist-stanford-duck-syndrome#:~:text=The%20Stanford%20Duck%20Syndrome%20is,duck%20gliding%20across%20a%20fountain.



 Dopamin Detox : Breaking the Habit of Dopamin Toxivity

Dalam Kehidupan Serba Instant untuk Hidup Lebih Berkualitas

Penulis : Glory Sepsi Sinaga, S.Psi

Hai hai Soulmate LYS ! siapa diantara soulmate LYS yang biasanya scroll reel social media, nonton video youtube, main instagram, sampai berjam-jam atau main game sampai lupa waktu? Saat sedang jenuh dengan rutinitas pasti kita akan kembali lagi dengan membuka sosial media dan langsung merasa refresh. Namun, ketika membaca buku, belajar, bekerja,  baru lima sampai sepuluh  menit rasanya mengantuk dan bosan 😴. 

Sering Go-food makanan siap saji dan jarang olahraga atau lebih suka minum minuman kekinian yang kadar gulanya tidak baik bagi tubuh? Semakin majunya teknologi semuanya menjadi serba instan, begitu pula dengan kebahagiaan.

    Ketika melakukan semua aktivitas diatas, secara otomatis langsung merasakan kebahagiaan dan stress berkurang. Kita sering menganggap aktivitas diatas adalah aktivitas yang menyenangkan. Namun, aktivitas tersebut  bisa menjadi kebiasaan buruk lho. Karena sering menganggu pekerjaan utama dan menyebabkan kecanduan.  Kebiasaan impulsif seperti itu jika dibiarkan akan berefek jangka panjang yang tidak sehat. Karena perilaku impulsif bisa menyebabkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan psikologis.

     Atau pernahkah ketika merasa stress dan sedih, soulmate LYS memilih makan enak, nonton film, main game, namun tidak lagi merasakan kesenangan? seakan-akan tubuh ini butuh sesuatu yang lebih menyenangkan? merasa kehilangan esensi kesenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya? Karena kebahagiaan  sering didapatkan  dengan cara yang mudah dalam waktu yang singkat. Hal ini akibat selalu membanjiri otak dengan dopamin. Pola ini juga  membuat  kesehatan psikologis bertambah buruk (Sukma, 2023).

Jika soulmate LYS saat ini merasa terjebak dalam situasi  yang dijelaskan diatas, soulmate LYS butuh Dopamin Detox.

    Sebelumnya apa sih Dopamin itu? Dopamin adalah hormon di dalam otak yang dapat meningkat secara alami saat seseorang dalam perasaan senang. Dopamin disebut sebagai happy hormone (hormon yang memunculkan rasa bahagia). Jika seseorang melakukan kegiatan yang menyenangkan, senyawa dopamine bisa meningkat. Dopamin atau hormon kebahagiaan ini jika dilepaskan dalam jumlah besar (dopamine toxivity), akan menyebabkan ketergantungan dan kecanduan (addiction).

Berikut ini adalah ciri – ciri orang yang mengalami dopamine toxivity:

  1. Sering Insomnia
  2. Mudah gelisah dan rentan stress
  3. Mengalami perasaan terlalu bersemangat dan susah dikontrol
  4. Pikiran dan perhatian mudah teralihkan
  5. Kesulitan untuk fokus, otak tidak bisa lagi menghasilkan hal-hal yang kreatif. 
  6. Emosi tidak terkendali
  7. Sering malas bekerja dan menunda-nunda pekerjaan (hanya ingin surfing social media, main game, nonton film berjam-jam)

Jika ciri-ciri diatas sudah soulmate LYS rasakan, segera lakukan Dopamine Detox.  Dopamine Detox adalah suatu cara mereset sistem otak, agar otak tidak bergantung dengan rangsangan tertentu. Tentang bagaimana kita menghindari terlebih dahulu dorongan-dorongan yang sekiranya membuat kita candu dan terlena. Dengan mengubah kebiasaan yang tidak produktif, menjadi lebih produktif. Manfaatnya antara lain punya banyak waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat, lebih mampu memperhatikan kesehatan mental dan meningkatkan fokus sehingga produktif dalam pekerjaan utama.

Dopamin Detox atau detoksifikasi dopamine adalah salah satu  bentuk Cognitive Behaviour Therapy yang dicetuskan  oleh Dr. Cameron Sepah,  seorang psikiater California untuk  membantu orang mengelola perilaku adiktif (PsychCentral, 2023).

           Soulmate LYS  juga bisa melakukan dopamine detox sendiri lhoo!

  •   Pertama, temukan komunitas yang bermanfaat, yang mampu membantu kalian lebih aware tentang kesehatan mental kalian. Sehingga kalian lebih sering bersosialisasi dengan orang lain, sharing, wawasan juga bertambah.
  • Kedua, kegiatan dunia maya digantikan dengan kegiatan-kegiatan fisik di dunia nyata. Misalnya berjalan kaki, jogging, memasak, berkebun, menyulam, menekuni fotografi, membaca buku, menata kembali rumah, kamar atau kegiatan kreatif lainnya.
  • Ketiga, membuat batasan dalam menggunakan social media. Menekankan pada diri sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan sesungguhnya sebelum larut main game, atau surfing social media. Membuat batasan waktu, misalnya stop bermain handphone 2 jam sebelum tidur dan memilih membaca buku atau kitab suci sesuai kepercayaan masing-masing
  • Keempat, Mengoptimalkan mindfulness selama menerapkan dopamine detox supaya jangan cepat relaps.
  • Kelima, bisa ambil jeda, tidak melakukan aktifitas apapun. Misalnya, ketika weekend atau  ada waktu luang, benar benar hanya duduk di taman, menikmati udara yang sejuk tanpa aktivitas apapun.
  • Keenam, mengubah kebiasaan pola makan dan minuman siap saji dengan lebih banyak makan sayur dan buah.
  • Ketujuh, jika soulmate LYS merasa kebiasaan impulsif ini semakin parah,  kesulitan dan tidak mampu melakukan dopamine detox secara individu, segera minta bantuan professional,  konsultasi ke psikolog atau psikiater.
Buat Soulmate LYS yang ingin mengenal lebih dalam mengenai Dopamin Detox, boleh banget baca buku Dopamine Detox : A Short Guide to Remove Distractions and Get Your Brain to Do Hard Thing by THIBAUT MERISSE. 
See you at a good time Soulmate LYS💗

Referensi :

PsychCentral. (2023, January , 27). What is Dopamine Fasting? Retrieved from PsychCentral: https://psychcentral.com/blog/dopamine-fasting-probably-doesnt-work-try-this-instead#recap

SUKMA, H. A. (2023). Mengendalikan Dopamin Detox. Literaksi : Jurnal Manajemen Pendidikan, 1, 261-265.

Vaillancourt, D. E., Schonfeld, D., Kwak, Y., I, N., MD, B., & Seidler, R. (2014). Dopamine overdose hypothesis: Evidence and clinical implications. NIH Public Access, 1-17.